Industri Emping Melinjo dan Kendala yang Dihadapinya


Tanaman melinjo dapat tumbuh pada ketinggian tempat 0-1.200 m dpl. Dengan demikian, tanaman melinjo dapat tumbuh di pegunungan berhawa lembab, bisa juga didataran rendah yang relatif kering. Namun agar dapat berproduksi secara maksimal, melinjo sebaiknya ditanam di dataran rendah yang ketinggiannya tidak lebih dari 400 m dpl dan dengan curah hujan sekitar 3.000-5.000 mm/tahun merata sepanjang tahun.

Pohon melinjo sudah dapat dipanen setelah berumur 5-6 tahun. Panen dilakukan dua kali setahun. Panen besar sekitar bulan Mei-Juli, sedangkan panen kecil sekitar bulan Oktober-Desember. Sedangkan pemungutan bunga dan daun muda dapat dilakukan kapan saja. Hasil melinjo per pohon untuk tanaman melinjo yang sudah dewasa bervariasi antara 15.000-20.000 biji. Menurut petani, tanaman melinjo umur 15 tahun hasil produksi buahnya mencapai 50 kg klatak (buah yang telah dikupas kulitnya) sekali panen, berarti produksi yang diperoleh klatak 100 kg/pohon/tahun. Berbagai bagian dari pohon melinjo dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Diantaranya, daun, biji melinjo dan kulit biji melinjo sering dimanfaatkan sebagai bahan untuk sayur. Selain itu, bijinya juga dapat diolah menjadi emping.

Emping melinjo adalah sejenis keripik yang dibuat dari biji melinjo yang telah tua. Proses pembuatan emping tidak sulit dan dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana. Emping melinjo merupakan salah satu komoditi pengolahan hasil pertanian yang memiliki nilai tinggi, baik karena harga jual yang relatif tinggi maupun sebagai komoditi ekspor yang dapat mendatangkan devisa. Sejauh ini, emping diekspor ke negara-negara tetangga di antaranya ke Singapura, Malaysia dan Brunei. Bahkan, pasar ekspor yang potensial menjangkau Jepang, Eropa dan Amerika.

Dalam sebuah presentsi potensi agroindustri emping melinjo di suatu kabupaten, beberapa orang peserta menampakkan kegusarannya. “Emping? Wah, asam urat itu!” Tampaknya persepsi bahwa emping identik dengan asam urat sudah demikian merasuk dan menyebar ke masrakarat luas. Seorang dokter lalu mencoba meluruskannya. “Pak, asam urat itu tidak ada hubungannya dengan emping atau jeroan dan lain-lain. Asam urat itu penyebabnya metabolisme tubuh tidak sempurna. Kalori yang seharusnya dibakar oleh oksigen menjadi tenaga dan urine; karena oksigen yang masuk kurang, proses pembakarannya tidak sempurna. Akibatnya limbah tubuh yang seharusnya berupa urine dan keringat, jadinya uric acid berupa kristal yang berujung runcing. Kalau kristal ini mengendap di ginjal, jadilah batu ginjal. Kalau mengendap di tulang rawan atau otot, jadilah nyeri tulang atau otot.” Terpaksalah acara presentasi agroindustri di kabupaten itu sedikit dibelokkan ke asam urat, sekadar meluruskan presepsi bahwa emping tidak ada urusan dengan sakit seseorang. Itulah kendala pertama pengembangan agroindustri emping melinjo. Yang pertamakali akan menentang upaya demikian, justru boss-boss para pengambil keputusan yang biasanya kurang olahraga, banyak stres, pikirannya tidak bersih hingga terkena gangguan asam urat. Kalau mereka diajak berbicara tentang emping, pasti dengan segera akan menolaknya.

Melinjo (Gnetum gnemon), adalah tanaman asli Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Habitat tumbuhan ini tersebar dari Assam (India) sampai ke Fiji (Pasifik). Tanaman ini bisa tumbuh mulai dari dataran rendah sampai tinggi (0 sd. 1.200 m. dpl.) Bentuk tanaman berupa pohon setinggi 20 m. dan berbatang lurus. Produk melinjo yang bernilai ekonomis adalah biji buah tuanya untuk emping; buah muda, bunga dan daun muda untuk sayur asam dan lodeh. Kulit buah tua pun di Jateng dan DIY memiliki nilai komersial cukupbaik untuk dikonsumsi sebagai bahan sayur. Satu pohon melinjo yang sudah berumur di atas 5 tahun dan terawat baik, mampu menghasilkan biji melinjo sebanyak 50 kg. per pohon per tahun. Dengan harga Rp 5.000,- per kg. maka dari satu pohon melinjo dpat diperoleh pendapatan Rp 250.000,- Kalau populasi tanaman dalam satu hektar 400 pohon (jarak dalam 5 X 5 m.), maka hasil dari tiap hektar kebun melinjo adalah 20 ton melinjo senilai Rp 100.000.000,- Pendapatan ini masih akan bertambah kalau kita memanen daun muda dan bunga jantannya. Sebab tanaman melinjo memang ada yang berumah satu (bunga jantan dan betina ada dalam satu pohon), ada juga yang berumah dua (bunga jantan dan betina terpisah dalam dua pohon). Jenis melinjo unggul yang selama ini banyak dikembangkan masyarakat secara komersial adalah melinjo medan yang bunga jantan serta betinanya terpisah pada pohon yang berbeda.

Kendala utama pengembangan agroindustri emping melinjo adalah kurangnya pasokan bahan baku. Dua sentra industri emping besar di Indonesia adalah Kec. Limpung di Kab. Batang, Jateng; dan Kec. Menes, Kab. Pandeglang, Banten. Irinisnya, di Kec. Limpung boleh dikatakan tidak ada tanaman melinjo. Di Menes dan Kab. Pandeglang pada umumnya, populasi tanaman melinjo masih cukup banyak. Meskipun bukan termasuk jenis melinjo unggul. Sentra-sentra emping lain yang tersebar di Jateng, DIY dan Jatim, relatif kecil jika dibandingkan dengan Limpung dan Menes. Namun kalau kita bicara populasi tanaman melinjo terbanyak, justru ada di Lampung. Sebenarnya bukan hanya lampung, melainkan seluruh pulau Sumatera. Karena pintu keluar melinjo sumatera ini adalah Provinsi Lampung, maka dikenallah melinjo sumatera ini sebagai melinjo lampung. Dari pelabuhan penyeberangan Bakauhuni ke Merak, melinjo lampung ini akan didistribusikan ke sentra-sentra emping yang tersebar di Jawa. Terutama ke Menes dan Limpung. Sebab meskipun populasi tanaman melinjo di Pandeglang bahkan Banten pada umumnya masih tinggi, namun populasi tersebut tetap tidak dapat mengimbangi permintaan industri emping. Karena suplai dari Lampung tetam sangat diandalkan oleh Menes. Hingga kadang-kadang ada hal yang tidak masuk akal. Melinjo sumatera itu sudah diangkut ke Batang di Jawa Tengah. tetapi karena ada informasi bahwa harga di Pandeglang jauh lebih tinggi, maka melinjo lampung yang sudah terlanjur masuk Jateng itu kembali dibawa ke Banten.

Sentra industri emping di Menes memang cukup besar. Ekspor ke Timur Tengah dan Eropa tersendat bukan karena kurangnya permintaan, tetapi justru karena pasokan melinjo segar yang selalu tertinggal. Para produsen dan padagang emping sendiri memang kurang begitu bergairah untuk melayani permintaan ekspor. Sebab, “main di pasar lokal pun masih sangat longgar, menguntungkan dan tidak repot.” Selain itu memang ada perbedaan jenis emping antara pasar lokal dengan ekspor. Pasar lokal lebih menghendaki emping tipis berukuran kecil (@ 2 – 3 biji melinjo). Sementara pasar ekspor menginginkan emping setengah utuh yang hanya terdiri dari satu biji melinjo dan dalam kondisi siap konsumsi. Kerepotan untuk melayani pasar ekspor memang sangat beralasan. Eksportir dari Menes yang mengirim ke Timur Tengah dan Eropa, sebenarnya masih dalam volume yang sangat kecil berupa emping tipis. Yang akan mengkonsumsi emping demikian hanyalah bangsa kita sendiri yang sedang merantau menjadi TKI atau para mahasiswa kita yang sedang belajar di Eropa sana. Karenanya persyaratan standar mutu produk lalu menjadi kurang penting. Kalau kita serius melayani permintaan emping setengah utuh tersebut, maka persyaratan standar mutu produk (Codex) dan standar Sanitary serta Pythosanitary (SPS) menjadi sangat penting. Adanya persyaratan yang ketat inilah antara lain yang juga menjadi alasan keengganan pelaku emping kita untuk melakukan ekspor.
Kendala psikologis dari para penentu keijakan (soal asam urat); kendala pasokan bahan mentah dan kendala persyaratan mutu (teknik produksi emping); adalah tiga permasalahan yang telah menghambat pertumbuhan agroindustri emping di Indonesia. Tentu ada pertanyaan, seberapa strategiskah komoditas ini bagi bangsa kita? Kita tahu bahwa masing-masing bangsa pasti memiliki komoditas unggulan yang menjadi semacam “trade mark” bagi bangsa tersebut. Misalnya saja Perancis unggul pada komoditas wine (anggur), parfum dan bumbu. Belanda dikenal melalui bunganya, dengan tulip sebagai bunga nasional mereka. Thailand dikenal oleh dunia luar karena durian monthongnya. Padahal anggur yang dibanggakan oleh Perancis sebenarnya berasal dari lembah sungai Tigris dan Euphrat. Bahan baku parfum dan bumbu Perancis kebanyakan dari Italia, India, dan Indonesia. Durian monthong yang dibanggakan Thailand sebenarnya berasal dari Kalbar. Lalu apa produk agroindustri kebanggaan Indonesia? Jambu air kita telah lolos hingga sekarang bisa dibudidayakan dengan sangat baik oleh Taiwan. Belimbing kita justru berkembang di Malaysia. Melinjo adalah komoditas yang saat ini hanya berkambang baik di Indonesia. Tidak di India dan Srilanka, tidak pula di negara Asean lainnya. Kalau kita menyia-nyiakannya, bisa saja suatu ketika justru Vietnam yang diam-diam mengembangkannya lalu tahu-tahu mereka sudah bisa memproduksi emping berkualitas tinggi untuk ekspor.

Kasus “tercurinya” komoditas unggulan ini, bukan hanya monopoli Indonesia. Timur Tengah (negara-negara Arab) selama dikenal sebagai penghasil produk-produk dari unta. Mulai dari karpet (bulu unta), daging unta dan minyak samin (dari susu unta). Selan itu Timur Tengah juga identik dengan minyak zaitun (olive oil) dan kurma. Namun mereka tidak mengembangkannya dengan serius karena tiba-tiba ada rejeki minyak dan sibuk perang. Tahu-tahu sekarang ini mereka harus mengimpor daging dan susu unta dari Australia. Karena di negeri ini unta bukan hanya sudah bisa diternak dengan sangat intensif, tetapi juga sudah menjadi liar dan hidup bebas di padang gurun. Australia juga sudah mampu mengembangkan kurma unggul yang dalam waktu 2,5 tahun bisa mulai berbuah. Zaitun pun, sudah bisa ditanam di Australia dalam skala yang untuk ukuran Eropa Selatan sudah sangat besar. Namun Australia sendiri juga kecurian makadamia. “Nut” asli Australia ini telah dikembangkan dan diproses serta dikemas dengan cukup baik oleh Afrika Selatan dan Hawaii. Dan buah kiwi, sebenarnya milik RRC. Kiwi adalah buah hutan yang tombuh liar di Cina timur laut. Namun tahu-tahu buah eksotis ini bisa menjadi “trade mark” nya New Zaeland. Meskipun Indonesia sendiri sebenarnya telah “mencuri” karet dan sawit yang sebenarnya milik negara-negara Afrika dan Amerika tropis.

Kembali ke masalah melinjo, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memutus hambatan psikologis dari para penentu kebijakan. Kalau beliau anti emping karena menderita sakit asam urat, bukan berarti penanaman melinjo harus dilarang dan industri emping berhenti. Kedua, pengembangan areal malinjo secara besar-besaran layak untuk dilakukan oleh Pemkab dan Pemprov. Para penangkar benih di Pekalongan, Lampung Tengah, siap dengan melinjo medannya yang unggul dalam jumlah jutaan batang per tahun. Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP) di Bogor telah siap untuk mendisain mesin-mesin sederhana yang bisa memproduksi emping setengah utuh. Pasar sejak dulu sudah siap untuk menampungnya. Namun istilah “pasar yang sudah sejak dulu siap untuk menampungnya” ini jangan diartikan secara sederhana. Kenmudian pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang memerlukan, berapa volumenya, mana teleponnya dan sebagainya. Sebab pengertian pasar dalam konteks ini adalah adanya peluang kebutuhan emping. Tetapi siapa yang akan menjadi importir di Belanda, di Timur Tengah, di Hongkong dan lain-lain, masih perlu penggarapan yang akan makan waktu, biaya dan juga tenaga. Yang disebut sebagai “pasar” di sini bukan sesuatu yang sudah ready stock hingga kita tinggal telepon, kirim barang dan uang ditransfer.

Agroindustri emping adalah bisnis yang sangat-sangat padat karya. Mulai dari panen, pengupasan kulit buah, proses pembuatan emping, pemasakan (oven) dan pengemasan, semuanya memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang sangat banyak. Memang agroindustri ini juga memerlukan modal besar. Namun nilai investasi tersebut relatif kecil jika dibanding dengan jumlahtenaga kerja yang bakal bisa diserap olehnya. Lain dengan aroindustri udang yang sangat padat modal. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang masih sangat susah dewasa ini, kita tidak perlu harus menunggu uluran tangan IMF atau World Bank sambil tidur-tiduran atau sibuk saling menyalahkan. Melinjo adalah komoditas yang sangat strategis bukan hanya untuk menghidupkan perekonomian rakyat, melainkan juga untuk prestise bangsa.

sumber : www.bi.go.id
http://foragri.blogsome.com

Post a Comment

Followers